MAJAPAHIT DAN ISLAM

Nizla Fatimah Mantiri 15 November jam 4:39 BalasLaporkan

Sebelum kita membahas tentang masuknya Islam dalam Kerajaan Majapahit, baiknya kita mengetahui juga tentang kisah kerajaan itu sendiri…

AWAL KERAJAAN MAJAPAHIT

Pendiri Kerajaan Majapahit adalah Sang Nararya Sanggramawijaya yang lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, yang lahir di Pakuan (sekarang Bogor). Beliau adalah putera Rakeyan Jayadarma dari isterinya yang benama Dyah Singhamurti. Rakeyan Jayadarma sendiri adalah putera dari Prabu Guru Dharmasiksa Raja Kerajaan Sunda Galuh ke-26 (1175-1297) di Jawa Barat, dengan ibukota kerajaan di Kawali (sekarang Ciamis), dan juga kakak dari Rakean Ragasuci. Sedangkan isterinya Dyah Singhamurti adalah puteri dari Mahisa Campaka alias Narasinghamurti cucu dari Ken Arok dan Ken Dedes penguasa Kerajaan Singhasari di Jawa Timur. Hal ini sebagaimana tertulis dalam kitab Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3 dan Babad Tanah Jawi. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut dengan nama Jaka Sesuruh dari Pajajaran. Setelah Rakeyan Jayadarma wafat dalam usia relatif muda, Dyah Singhamurti pulang ke Singhasari negeri kelahirannya dengan membawa serta Wijaya kecil.

Dari keterangan tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Raden Wijaya menjadi Raja dari tiga kerajaan besar, yaitu;
1. Pewaris tunggal Kerajaan Sunda ke-27
2. Pewaris Kerajaan Singhasari (Wangsa Rajasa)
3. Pendiri sekaligus Raja pertama Majapahit

Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini kemudian oleh Raden Wijaya dijadikan nama kerajaan yang didirikannya. Dalam bahasa Sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta sehingga orang Jawa mengenal kerajaan besar ini dengan nama Wilwatikta.

Setelah Kerajaan Singhasari runtuh dengan wafatnya Prabu Kertanegara karena dibunuh oleh Jayakatwang barulah Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1293. Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama bergelar Prabhu Shrii Kertarajasha Jayawardhana, dengan ibukota kerajaan di tepi Kali Brantas (sekarang Kabupaten Sidoarjo). Menurut Kidung Harsa Wijaya penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293. Beliau memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1293 sampai 1309 M. Setelah Raden Wijaya wafat beliau digantikan oleh puteranya, Jayanagara. Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau perpaduan Wisnu dan Siwa.

Prabhu Sri Jayanagara adalah putera dari Raden Wijaya dengan permaisurinya Tribhuwaneswari, yang memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabib pribadinya yang bernama Tanca. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.

Sedikit tentang sosok Gajah Mada
Beliau adalah seorang panglima perang dan tokoh yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit. Gajah Mada memulai kariernya di tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih. Kemudian pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi ia diangkat lagi menjadi Mahapatih (Menteri Besar), dan terakhir sebagai Hamangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.
Ketika pengangkatannya sebagai Hamangkubhumi pada tahun 1258 Saka (1336 M) Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang artinya bahwa ia akan menikmati palapa atau rempah-rempah (yang diartikan kenikmatan duniawi) bila telah berhasil menaklukkan Nusantara. Sebagaimana tercatat dalam kitab Pararaton dalam teks Jawa Pertengahan yang diterjemahkan sebagai berikut;
”Beliau, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa”

Kembali ke Jayanegara, karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayanagara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan

Sebagai catatan bahwa setiap kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit mendapat gelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja. Sedangkan para anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre). Sejak Raden Kertawijaya memerintah, beliau-lah yang mula-mula memakai gelar Brawijaya (singkatan dari Bhatara Wijaya).

Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun. Beliau kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam Wuruk buah pernikahannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singhasari.

KEJAYAAN KERAJAAN MAJAPAHIT

Prabu Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar Prabu Srii Rajasanagara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhumi (maha-patih). Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak keemasannya.

Kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan Nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dapat dilihat dari wilayah ekspansinya yang membentang dari daerah Swarnabhumi (Sumatera) tahun 1339, pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), Semenanjung Malaya, kemudian pada tahun 1343 bersama dengan Arya Damar menaklukan Bedahulu (Bali) dan kemudian penaklukan Lombok, dan sejumlah negeri di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (sekarang Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kendawangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Sulu, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, Malano,Logajah, Gurun,Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwu,Makassar, Buton, Banggai,Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar yang terkenal yaitu Kekaisaran Tiongkok dan Kerajaan Majapahit.

Lambang Negara Majapahit adalah Surya Majapahit. Benderanya berwarna Merah dan Putih yang melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Motto negara adalah Karma Bhumi yang artinya nasionalisme sejati atau kecintaan pada bhumi pertiwi. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Trowulan (sekarang Mojokerto), Jawa Timur. Pelabuhan Internasional-nya adalah Gresik. Agama resmi Negara adalah Hindhu aliran Shiva dan Buddha. Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha.

Kecuali wilayah Sunda dan Madura, ekspansi Kerajaan Majapahit boleh dikatakan berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara. Khusus wilayah Sunda, Gajah Mada mendapat kesulitan untuk menguasai wilayah ini dikarenakan Ratu Jayawisnuwadhani dan Prabu Hayam Wuruk enggan berseteru dengan daerah tanah lahir dan keluarga kakek buyut mereka yaitu Raden Wijaya. Ini terbukti dengan niatan Prabu Hayam Wuruk yang justru ingin mempererat kembali silahturahmi persaudaraan dengan Kerajaan Sunda Galuh lewat cara pernikahan.

Hayam Wuruk melamar Puteri Dyah Pitaloka Citraresmi untuk menjadi isterinya. Puteri Dyah Pitaloka Citraresmi adalah anak dari Prabu Maharaja Linggabuana raja dari Kerajaan Sunda Galuh pada abad ke-14 di sekitar tahun 1357 M. Namun sayang pernikahan tersebut gagal dilangsungkan akibat serangan Maha-patih Gajah Mada dan pasukannya yang berambisi ingin menguasai wilayah Sunda. Pertempuran ini dikenal dengan Perang Bubat karena kejadian tersebut terjadi di lapangan terbuka Pesanggrahan Bubat (sekarang Desa Tempuran). Akibat perang tersebut seluruh tamu dan utusan dari Kerajaan Sunda Galuh tewas termasuk Sang Prabu dan puterinya. Hal ini membuat Prabu Hayam Wuruk sedih sekaligus kecewa atas tindakan berani Gajah Mada. Akibat peristiwa Bubat ini, hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Hayam Wuruk sebagai rasa penyesalannya berikrar bahwa Kerajaan Majapahit tidak akan pernah menyerang Kerajaan Sunda, hal ini terbukti sampai runtuh Majapahit tidak ada usaha ekspansi Kerajaan Majapahit ke wilayah Sunda.

Sebenarnya tentang kebenaran adanya Perang Bubat sendiri sampai hari ini masih sangat kontroversial, beberapa pendapat mengatakan bahwa perang tersebut hanyalah cerita fiksi/dongeng belaka, ada juga yang berpendapat bukan sebuah perang besar hanya perkelahian semata. Silahkan sahabat menilai sendiri tentang kebenarannya.

Sedangkan untuk wilayah Madura, selama berdirinya Kerajaan Majapahit orang-orang dari Madura-lah yang banyak berjasa dalam mendukung eksistensi kejayaan Kerajaan Majapahit dari awal berdiri hingga runtuhnya kerajaan tersebut. Oleh karena itu Kerajaan Majapahit justru menjalin hubungan baik dengan pihak penguasa di Madura.

Empat belas tahun setelah Hayam Wuruk memerintah, Maha-patih Gajah Mada mengundurkan diri pada tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.
Ada beberapa hipotesa tentang Gajah Mada dengan pengunduran dirinya tersebut;
1. Disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama bahwa Gajah Mada sakit kemudian meninggal dunia, jenazahnya dikremasi dan abunya dilarungkan ke laut, sehingga tidak ada makam ataupun candi tempat abu jenazahnya disimpan.
2. Diperkirakan Gajah Mada melakukan tapa brata kemudian moksa atau tilam (menghilang).
3. Ia memimpin ekspedisi ke seberang lautan hingga ke MADAGASKAR. Dimana diyakini asal mula nama pulau tersebut adalah Mada-gaskar (Pulau Mada), diperkirakan erat hubungannya dengan Gajah Mada. Selain itu penduduk asli pulau itu, etnis Merina dan Betsileo, diyakini berasal dari pulau Jawa.
Selain dari 3 hipotesa tersebut diatas, ada beberapa daerah yang mengaku bahwa ditempat mereka-lah terdapat makam Hamungkubhumi tersebut seperti; Lamongan, Dompo, Makassar, Kalimantan Selatan, Prabumulih, Lampung sampai Bengkulu. Namun penilitian para arkeolog dan sejarah yang akurat belum ada yang dapat memastikan kebenaran makam-makam tersebut.

Jabatan patih Hamangkubhumi tidak terisi selama tiga tahun. Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara. Hingga akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu.

Prabu Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawardhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawardhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk.

Prabu Wikramawardhana memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, di pulau Jawa.

AKHIR KERAJAAN MAJAPAHIT

Pada zaman Ratu Suhita stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Paregreg (1401-1406 M).

Ratu Suhita kemudian wafat tahun 1407, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya.

Pada tahun 1447-1451 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertawijaya bergelar Prabu Brawijaya I ( Bhre Wijaya).

Tidak lama ia memerintah kemudian digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar Srii Rajasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan. Malah pada tahun 1453-1456 terjadi kekosongan penguasa dalam Kerajaan Majapahit.

Situasi sedikit mereda ketika Prabu Dyah Suryawikrama Girisawardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecamuk.

Tampuk kepemimpinan Kerajaan Majapahit kemudian dipegang oleh Suraprabhawa yang bergelar Prabu Singhawikramawardhana, Bhre Pandanalas sebagai Brawijaya IV. Beliau memerintah dari tahun 1466 sampai 1468.

Candrasengkala yang berbunyi ’sirna ilang kretaning bumi’. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Kalimat tersebut sebenarnya menggambarkan tentang gugurnya Bre Kertabumi, Raja Majapahit XI, oleh Girindrawardhana. Sejak itu Majapahit telah runtuh.

Dibawah ini adalah urutan para raja dan ratu Majapahit;
1293-1309 Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana)
1309-1328 Jayanagara
1328-1350 Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (Bhre Kahuripan)
1350-1389 Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara)
1389-1429 Wikramawardhana
1429-1447 Ratu Suhita
1447-1451 Raden Kertawijaya (Brawijaya I)
1451-1453 Rajasa Wardhana (Brawijaya II)
1453-1456 terjadi kekosongan penguasa Majapahit
1456-1466 Girisawardhana (Brawijaya III)
1466-1468 Suraprabhawa (Singhawikramawardhana, Bhre Pandanalas-Brawijaya IV)
1468-1478 Bhre Kertabumi (Brawijaya V)

Beberapa penyebab runtuhnya Majapahit diantaranya;
1. Perang saudara yang terjadi sekitar tahun 1405-1406 atau yang dikenal sebagai Perang Paregreg
2. Pemberontakan yang dilakukan oleh seorang bangsawan Majapahit (Bhre Kertabumi) tahun 1468.
3. Ekspansi Kesultanan Demak ke wilayah-wilayah Majapahit baik di pesisir maupun pedalaman Pulau Jawa.
Setelah Perang Paragreg, daerah-daerah bawahan di luar Jawa banyak yang lepas tanpa bisa dicegah karena kekuatan militer Majapahit diprioritaskan untuk menghadapi perang saudara. Misalnya, tahun 1405 daerah Kalimantan Barat direbut Kekaisaran Tiongkok. Lalu disusul lepasnya Palembang, Melayu, dan Malaka yang tumbuh sebagai bandar-bandar perdagangan ramai. Kemudian lepas pula daerah Brunei yang terletak di Pulau Kalimantan sebelah utara. Keadaan politik Majapahit akibat perang saudara yang berlarut-larut itu menyebabkan kekuatan Majapahit semakin melemah dan tidak stabil.

MASUKNYA ISLAM dan PERKEMBANGANNYA pada zaman KERAJAAN MAJAPAHIT

Keberadaan Islam sudah ada dalam masyarakat Majapahit terbukti dengan hadirnya seorang tokoh Islam yang kita kenal sebagai Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim yang makamnya terletak di Pasarean Gapura Wetan, Kabupaten Gresik, pada batu nisannya tertulis dengan angka tahun 12 Rabi’ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi, berarti beliau hidup pada masa pemerintahan Prabu Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV.

Bukti lainnya adalah adanya pemukiman Muslim, dengan ditandai dengan situs Kuno Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 hingga tahun 1611.
Satu situs kepurbakalaan lagi dikecamatan Trowulan yakni Makam Puteri Campa. Menurut Babad Tanah jawi, Puteri Campa (sekarang Kamboja) adalah istri Prabu Brawijaya I yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi).
Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Puteri Campa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa), Dusun Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Puteri Campa bangsawan Islam itu.

Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja’far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam tetapi dilarang menyembelihnya untuk menghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan sapi. Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu. Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi.

KESULTANAN DEMAK BINTORO, Kerajaan Islam Pertama di Jawa Tengah

Salah satu pusat perkembangan Islam adalah Kesultanan Demak di Utara Jawa Tengah. Kesultanan Demak Bintoro berdiri tahun 1478 yang didirikan oleh Raden Hassan. Beliau kemudian diberi gelar Sultan Syaikh Akbar Al Fatah, atau lebih dikenal dengan nama Raden Patah. Raden Patah adalah putra Raden Kertawijaya atau Prabu Brawijaya I (Raja Majapahit VII) buah pernikahannya dengan puteri Cina bernama Tan Eng Kian yang kemudian disingkirkan dari istana akibat raja menikah lagi dengan Puteri Anarawati dari Campa (sekarang Kamboja). Setelah Puteri Tan Eng Kian diceraikan, lantas putri Cina yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang, Arya Damar untuk diperistri.

Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putera selir Prabu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1389 – 1429 Masehi, buah pernikahan dengan seorang puteri Cina pula. Nama Cina Adipati Arya Damar adalah Swan Liong, yang beragama Islam. Ia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis Cina di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.

Pada masa itu menerima pemberian seorang janda dari seorang Raja Majapahit adalah suatu kehormatan besar. Walau begitu Arya Damar tidak langsung menikahi puteri Tan Eng Kian tetapi menunggu kelahiran putera yang dikandungnya. Begitu puteri Cina ini selesai melahirkan, barulah ia dinikahi oleh Arya Damar.

Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabu Brawijaya I, adalah seorang bayi laki-laki. Bayi mungil ini diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama muslim Hassan. Dia-lah Raden Hassan yang lebih dikenal dengan Raden Patah, seperti tertuang dalam Kitab Purwaka Caruban Nagari

Demak yang dahulunya merupakan sebuah desa kecil yang bernama Glagah Wangi kemudian menjadi sangat berperan penting berkat hadirnya Kerajaan Islam Demak. Perlahan namun pasti Kesultanan Demak berkembang dan mulai melebarkan sayapnya ke sekitar Demak bahkan ke daerah Jawa Barat dan Jawa Timur.

Hal ini bisa dilihat dimana dibawah kekuasaan Adipati Unus, putera Raden Patah, berhasil menghancurkan Kerajaan Kalingga dibawah pemerintahan Prabu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya pecahan dari Kerajaan Majapahit. Sejak itu berubah satusnya sebagai daerah taklukan Kesultanan Demak.

Kesultanan Demak meluaskan ekspansinya dengan menaklukkan Daha pada tahun 1527 pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, putera Adipati Unus, kemudian berturut-turut Tuban ditaklukan tahun 1527, Madiun ditaklukan tahun 1530, Pasuruan ditaklukan tahun 1543, Kediri dan Malang ditaklukan tahun 1545, Panarukan ditaklukan tahun 1546 dan Gunung Penanggungan ditaklukan tahun 1550, sehingga berakhirlah zaman kerajaan Hindu di Jawa Timur. Pada era pemerintahan Trenggana, Kesultanan Demak berkembang menjadi semacam negara Federal di pulau Jawa dengan Islam sebagai pemersatu.
Di buku Tome Pires, seorang pelaut Portugis beliau disebut dengan nama Pate Rodin (Jr). Di buku-buku Jawa, dialah Raja Demak yang paling lama berkuasa yaitu Sultan Trenggana.

Sejak itu Pulau Jawa dan Indonesia memasuki zaman Perkembangan Islam yang dipelopori oleh 9 Wali yang sengaja datang dari semenanjung Arab untuk bersyiar Islam. Kelak 9 Wali ini terkenal dengan nama Wali Songo (Damar Shashangka) yang dalam kiprahnya menjadi semacam organisasi keagamaan yang anggotanya tidak lebih dari 9 orang, bila seorang anggota mengundurkan diri atau wafat maka akan diganti oleh anggota baru yang dipilih melalui musyawarah para anggota lama dengan para raja, bangsawan dan ulama yang ada. Eksistensi 9 Wali ini telah ada sekitar tahun 1389 hingga akhir 1870 M. Berdirinya Kesultanan Demak juga atas dasar prakarsa Wali Songo.

Untuk kiprah Wali Songo dalam penyebaran dan perkembangan Islam di tanah air kami akan membahasnya tersendiri.

SELESAI

DAFTAR PUSTAKA:
– DAMONO, SAPARDI DJOKO & SONYA SONDAKH (Penyunting), 2004, Babad Tanah Jawi: Mitologi, Legenda, Folklor, dan Kisah Raja-raja Jawa. Buku I. Jakarta: Amanah Lontar.
– DJAFAR, HASAN, 1978, Girindrawarddana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Penerbitan Buddhis Nalanda.
– MULJANA, SLAMET, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LkiS.
– PADMAPUSPITA, KI, 1966, Pararaton: Teks Bahasa Kawi, Terjemahan Bahasa Indonesia. Jogjakarta: Penerbit Taman Siswa.
– SUMADIO, BAMBANG (Penyunting Jilid), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Balai Pustaka.
– YAMIN, MUHAMMAD, 1962, Tatanegara Madjapahit: Risalah Sapta Parwa, berisi 7 Djilid atau Parwa, Hasil Penelitian Ketatanegaraan Indonesia tentang Dasar dan Bentuk Negara Nusantara Bernama Madjapahit, 1293—1525. Parwa II. Djakarta: Prapantja.

Tinggalkan komentar